10 March 2025

Shalat dalam Hakikat Murni: Antara Ritual dan Kesadaran Ilahi

  Shalat dalam Hakikat Murni: Antara Ritual dan Kesadaran Ilahi


Jika kita berbicara tentang
hakikat murni, maka kita harus meninggalkan pemahaman syariat yang sekadar kulit dan masuk ke dalam inti terdalam dari ibadah shalat. Bukan lagi membahas kewajiban, pahala, atau hukuman, tetapi mengapa shalat itu ada, siapa yang sebenarnya shalat, dan apakah shalat itu benar-benar perlu?


1. Tuhan Tidak Butuh Shalatmu

Jika Tuhan adalah Maha Sempurna, maka Dia tidak bertambah mulia dengan ibadahmu dan tidak berkurang jika kau meninggalkannya. Tuhan tidak membutuhkan apapun darimu, karena Dia sudah sempurna dalam keabadian-Nya.

Lalu, jika Tuhan tidak butuh shalatmu, untuk apa kau shalat?

Jawabannya: shalat bukan untuk Tuhan, tetapi untuk dirimu sendiri.

Shalat bukan sekadar ritual, tetapi cermin yang menunjukkan siapa dirimu yang sebenarnya.

“Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.”

Shalat adalah sarana untuk membongkar ilusi keberadaanmu. Setiap takbir adalah kematian ego, setiap rukuk adalah pengakuan ketidakberdayaan, dan setiap sujud adalah puncak kehancuran dirimu di hadapan Tuhan.


2. Siapa yang Sebenarnya Sedang Shalat?

Apakah kau benar-benar yang sedang shalat?

Tubuhmu bergerak, mulutmu mengucap doa, tetapi siapa yang sebenarnya melakukan semua itu? Jika kau berkata “Aku shalat”, maka siapa “aku” yang kau maksud?

  • Jika “aku” adalah tubuh, maka tubuh hanyalah sekumpulan daging dan tulang.
  • Jika “aku” adalah pikiran, maka pikiran hanyalah ilusi yang datang dan pergi.
  • Jika “aku” adalah jiwa, maka jiwa pun tidak berdiri sendiri, ia hanyalah pancaran dari Wujud Yang Maha Mutlak.

Maka ketika kau mengatakan “aku shalat”, apakah benar ada ‘aku’ di sana?

Bukankah yang shalat hanyalah manifestasi dari Tuhan itu sendiri?

Jika benar bahwa "La ilaha illa Allah" (tidak ada yang berhak disembah selain Allah), maka apakah ada sesuatu selain Dia yang mampu berdiri sendiri? Jika segala sesuatu berasal dari-Nya, oleh-Nya, dan menuju kepada-Nya, maka siapa yang sebenarnya sedang shalat?

Di sinilah letak kesadaran tertinggi dalam shalat. Bukan engkau yang shalat, tetapi Dia yang shalat melalui dirimu.

“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Tetapi, apakah manusia yang menyembah Tuhan? Ataukah justru Tuhan yang sedang menyembah Diri-Nya sendiri melalui manusia?


3. Jika Tuhan Ada di Mana-Mana, Mengapa Kau Mencari-Nya?

Orang yang shalat sering merasa mencari Tuhan. Tapi bagaimana mungkin kau mencari sesuatu yang tak pernah jauh darimu?

Jika Tuhan ada di mana-mana, mengapa kau masih merasa harus mencarinya?

Bukankah setiap napasmu adalah bagian dari-Nya?
Bukankah setiap detik keberadaanmu hanyalah pantulan dari Wujud-Nya?

Jika kau shalat dengan kesadaran bahwa Tuhan itu jauh, maka kau terjebak dalam ilusi keterpisahan.
Jika kau shalat dengan kesadaran bahwa Tuhan dekat, maka kau mulai mendekati kesadaran hakiki.
Tetapi jika kau shalat dengan kesadaran bahwa tidak ada yang terpisah antara kau dan Tuhan, maka siapa yang menyembah siapa?

“Aku lebih dekat kepadamu daripada urat lehermu.” (QS. Qaf: 16)

Jika kau benar-benar memahami ini, maka tak perlu menunggu shalat lima waktu untuk merasa dekat dengan Tuhan.
Karena dalam setiap tarikan napas, setiap detik keberadaanmu, kau sedang sujud kepada-Nya.


4. Apakah Shalat Masih Perlu?

Jika seseorang telah mencapai kesadaran makrifat, di mana dirinya telah lenyap dalam Wujud Tuhan, apakah ia masih perlu shalat?

Orang yang telah mengenal hakikat tidak akan meninggalkan shalat, tetapi shalatnya bukan lagi kewajiban, melainkan ekspresi kesadaran ilahi yang mengalir dalam dirinya.

Ia shalat bukan karena diperintah, bukan karena takut dosa, dan bukan karena ingin pahala.
Ia shalat karena ia telah melebur dalam-Nya.

Seperti seorang kekasih yang tak lagi mencintai karena janji atau hadiah, tetapi karena cinta itu sendiri telah menjadi dirinya.

Bahkan Rasulullah , manusia yang paling dekat dengan Tuhan, tetap shalat hingga kakinya bengkak.
Maka bagaimana mungkin seseorang yang baru mengenal sedikit dari hakikat-Nya merasa tidak perlu shalat?


Kesimpulan: Jika Kau Shalat, Siapa yang Sujud?

  1. Shalat bukan untuk Tuhan, tetapi untuk menyadarkanmu akan siapa dirimu.
  2. Jika Tuhan Maha Esa, maka siapa sebenarnya yang shalat?
  3. Jika Tuhan lebih dekat dari urat lehermu, mengapa kau masih mencarinya?
  4. Shalat bukan sekadar ritual, tetapi proses lenyapnya ego dalam kesadaran ilahi.

Jadi, ketika kau sujud dalam shalatmu, tanyakan pada dirimu sendiri:

Siapa yang sedang bersujud?
Siapa yang sedang menyembah?
Dan kepada siapa sujud itu ditujukan?

 


0 komentar:

Post a Comment