BABAD ALAS JATIMALANG-KLIRONG
DIPELOPORI
KESATRIA PANEMBAHAN MALANG TARUNA DAN KESEPUHAN KI SAPU ANGIN
SAMPAI
LEGENDA MESJID AGUNG DEMAK
Oleh Dr. H. Imam Satibi
M.Pd I
A. Pendahuluan
Desa Jatimalang merupakan salah satu
desa di Kecamatan Klirong Kabupaten Kebumen yang memiliki khasanah sejarah
menarik dan unik. Hal ini dibuktikan dengan berbagai legenda mashur atau cerita rakyat yang populer secara
turun temurun dan dipahami serta
diyakini oleh warga Jatimalang maupun warga umum sebagai kejadian asli yang
benar-benar terjadi. Bahkan dari berbagai legenda terdapat legenda tingkat
nasional yang berkembang sampai saat ini
menghubungkan Desa Jatimalang dengan Masjid Agung Demak yang didirikan
Raden Patah dan para Wali Songo pada tahun saka 1401/1479 M. (PUTRI AFFIZ, 2022)
Selain itu sejarah keberadaan
Jatimalang juga tidak dapat terlepas dari pengaruh Mataram Islam. Hadirnya
tokoh kesatria pejuang nasional anti kolonial yakni Pangeran Tedjokusumo alias Panembahan Malang
Taruna anak Adipati Mertowongso
salah satu cucu Panembahan Senopati yang turut dalam sejarah babad alas dan
tinggal di Jatimalang hingga akhir hayatnya. Legenda kesaktian Ki Sapu Angin
pelaku babad alas yang konon memiliki ilmu sepi angin dan keahlian berbagai
pengobatan supranatural melengkapi cerita sejarah Jatimalang secara lengkap.
Lebih menarik lagi bahwa sejarah Desa Jatimalang
tidaklah hanya sebagai cerita fiksi tanpa bukti dari mulut kemulut melainkan
sebagaian telah didokumentasikan dengan rapih oleh generasi pendahulu keturunan
leluhur Jatimalang. Bukti sejarah itu telah dikemas dalam bentuk manuskrip,
buku diary (catatan pribadi) maupun media jurnal umum cetak. Selain dari
data tulis juga didukung berbagai
peninggalan baik yang berupa situs, artefak dan legasi yang terawat dengan
baik.
Oleh karenanya dalam penelitian sejarah ini, penulis
tidak mengalami kesulitan yang signifikan dikarenakan tinggal mengkonstruksi
data sehingga menjadi narasi sejarah yang akurat dan otentik sesuai dengan
kemanfaatanya. Selain melalui observasi data lapangan khususnya pada artefak
dan studi dokumentasi penulis juga melakukan Fokus Group Discussion bersama
para tokoh dan pemangku sejarah.
Tujuan dilakukanya penulisan sejarah Jatimalang ini
selain merpakan aktivitas khazanah keilmuan (karya tulis) melalui penelitian
sejarah, luaranya berharap dapat diperuntukan juga guna: melengkapi dokumenter
profiling desa Jatimalang dan sebagai naskah akademik dalam menentukan
kebijakan "Hari Jadi Desa Jatimalang" sebagaimana tuntutan regulasi
Peraturan Desa (PERDES) yang selama ini belum terwujud. Lebih lanjut berharap penelitian
sejarah ini dapat rujukan bagi generasi peneliti lebih lanjut
B. Nama Desa Jatimalang diambil dari Pohon Jati dan
Tokoh
Sebutan kata "Jatimalang"
yang telah disematkan sebagai nama resmi desa, menyimpan misteri mendalam khususnya
bagi generasi muda yang tidak memiliki keterkaitan dan pemahaman sejarah.
Lebih-lebih bagi generasi digital yang hidup dalam era internet dan robotic
saat ini. Oleh karena itu bagaimana sejarah penamaan desa Jatimalang menjadi
sangat penting untuk dideskripsikan dalam penelitian ini.
Nama suatu desa dalam khazanah sosiologis-antropologis
tidak terlepas dari kontek sejarah lokal yang mempengaruhi. Nama pada dasarnya
merupakan simbol dari gambaran keadaan yang ada. Demikian pula dengan nama
"Jatimalang" yang disematkan sebagaimana pilihan nama desa bagi warga
masyarakat. Nama desa pada dasarnya merupakan simbol yang menggambarkan dari
dialektika percaturan peristiwa yang mengiringinya pada zamanya. Demikian pula
dengan adanya cerita heboh tentang adanya pohon jati yang konon sangat besar dan memiliki
kontribusi bagi Masjid Agung Demak. (Soetardjo, 1984 : 15, M. Irwan Tahir, 2012)
Kalau dikaitkan dalam era kekinian, nama memiliki makana sangat penting guna melihat
harapan kedepan, karena itu penulisuran nama desa Jatimalang menjadi penting
untuk dipahami oleh generasi penerus. Inspirasi dari mana dan apa artikulasi
dibalik nama tersebut. Nama desa dipahami sebagai petunjuk awal akan isi dari
peradaban yang ada. Disamping itu nama menjadi bagian dari strategi cara untuk
melakukan branding desa yang bersifat ikonik, distinctif dan unik bagi
warga masyarakat Jatimalang pada saat itu tentunya. (Agus Nero Sofyan, Kunto Sofianto,
Maman Sutirman, 2019) Melalui nama inilah
pembaca dapat mengetahui pembeda Jatimalang dengan desa lain karena memiliki
latar sosio kultur, religi, alam dan budaya yang yang berbeda.
Proses penamaan desa Jatimalang
dipicu dari tuntutan regrouping kebijakan "Blengketan" desa
oleh pemerintah Hindia Belanda dan dengan diterbitkanya undang undang desa Indlandsche
Gemeente Ordonnantie (IGO) yang berlaku di Jawa Madura pada tahun 1924.
Melalui regulasi inilah memantik adanya perubahan tata kelola desa yang
mengatur pertama kali adanya persyaratan desa yang harus memiliki kepala desa,
pamong desa dan rapat desa. Kembali 1938 dilakukan perubahan dari IGO menjadi
IGOB Indlandsche Gemeente Ordonnantie Butengeswesten namun secara prinsip tidak ada perubahan mendasar. (Rosita et al.,
2021)
Blengketan desa di Jatimalang dilakukan
dengan cara menggabungkan 4 grumbul kelurahan (sebutan nama desa lain) existing
dalam dua pedukuhan besar yakni Alas Malang dan Karangjati. Kedua dukuh itu
menjadi satu kesatuan wilayah hukum, budaya dan politik dalam wadah yang
disebut desa Jatimalang. Blengketan itu menjadi tonggak pemantik lahirnya desa
Jatimalang sekaligus menjadi momentum kembalinya kesatuan teritorial desa
Jatimalang seperti keadaan pada awal babad alas dan dipimpin demang. Terhitung
kebijakan blengketan empat grumbul kelurahan resmi telah dihapus yakni Alas
Malang, Kuwarasan, Jetis dan Dukuh. Tiga dari empat grumbul tersebut (kecuali
Jetis) sebelumnya telah memiliki kepemimpinan dengan sebutan lurah secara hukum
adat pasca digantikanya Demang Sosrowiguno sebagai pemimpin yang membawaih wilayah
saat itu. Berdasarkan penelusuran data peneliti tidak menemukan akurasi data
kapan dilakukanya blengketan desa Jatimalang.
Sejarah pemberian nama Jatimalang
berdasarkan keterangan yang dapat dihimpun dari berbagai tokoh konon cerita
bukanlah suatu yang mudah. Perhelatan sesama warga masyarakat berjalan sangat
dinamis khususnya antara dukuh Karangjati dan Alas Malang. Hal ini diketahui
dengan adanya tarik ulur nama antara nama Alas Malang yang sudah sangat populer
dimasyarakat dan nama Karangjati sebagai nama regrouping Jetis dan dukuh. Tarik
ulur keduanya sangat kuat yang berusaha memasukan nama sesuai dengan kekhasan
dukuh. Dengan kondisi seperti itu kemudian generasi sepuh tokoh adat diminta
melakukan istikharoh minta petunjuk pada Sang Kuasa sehingga suasana menjadi
kondusif. Selain itu pemimpin adat lokal pada saat itu juga aktif melakukan
konsultasi dengan pejabat atasan. Alhasil nama "Jatimalang" telah
dipilih dan disepakati oleh warga masyarakat sebagai nama desa dengan
mengakomodir dari nama Dukuh Karang Jati dengan mengambil kata "Jati"
dan Dukuh Alas Malang dengan mengambil kata "Malang" sehingga menjadi
satauan kata "Jatimalang". (Wiyoto, 2023)
Menurut hemat penulis nama Jatimalang
bukan semata mata pertimbangan pohon jati gung panca lodra yang ikonik di Karangjati
secara total, melainkan diambil perpaduan dari dua suku kata yakni kata
"jati dan malang". Selanjutnya masyarakat memberikan penafsira bahwa
kata jati merupakan sinonim dari pohon jati secara umum yang ada disepanjang
dukuh Karangjati dan Alas Malang. sedangkan kata malang disini bisa bersinonim
dengan masifnya pohon jati secara liar dimana daun ranting dan akarnya malang
malang.
Tafsir yang kedua nama malang sinonim
dengan nama tokoh dari nama depan pejuang kesatria anti kolonial yang turut
babad alas bernama Panembahan Malang
Taruna. Walaupun nama Malang Taruna hanya nama lain (nama popular) dari R.M.A.
Tedjo Koesoema. Sangat dimungkinkan kata malang yang disematkan pada nama
tersebut merpakan symbol dari alas yang malang. Dari adanya perbedaan
penafsiran, masyarakat umumnya memahami sebagaimana dalam cerita rakyat yang
melekat dipahami malang diambil dari ranting, daun dan akar yang malang malang
dari pohon ikonik jati khususnya yang ada didukuh Karangjati. Kendati pada saat
pemberian nama Jatimalang yang tersisah
hanya cerita rakyat dan situs bekas bekas pohon jati didekat Balai Desa
Jatimalang, warga sangat yakin jika pohon jati itu dulu benar-benar ada dan
keramat. Demikian pula dengan masyarakat seputar kecamatan Klirong juga
mengakui adanya pohon jati besar tua dan rantingya bercabang cabang
(malang-malang) kemana mana dan sangat jauh. Hal ini dapat dibuktikan melalui
artefak, beberapa waktu yang belum lama ketika menggali sumur pada saat
membangun Balai desa Jatimalang, si tukang penggali terpentok oleh akar jati yang sangat keras
dan sulit dipotong sampai sekarang. Demikian pula pengakuan warga sekitar yang
mengalami hal yang sama. Akibatnya penggalian sumur tidak bisa dalam. Secara
kebetulan sumur ini berjarak kurang lebih 100 M dari asal pohon jati. Akar itu
diyakini bagian dari akar pohon jati. (Parjono, 2023)
Kiranya dapat diambil hikmahnya bahwa
dengan mengakomodir dua ikon Karangjati dan Alas Malang harapan dari pelaku
sejarah kepada warga masyarakat dan keturunanya nanti antara warga Dukuh Alas
Malang dan Dukuh Karangjati secara sosial harus guyub rukun lan sepadha
sayekti, mulo aja tukar padu sepapadane rowang. Desa Jatimalang harus
dipegangi sebagai tumpah darah yang harus maju dan bekembang tidak kalah dengan
desa yang lain.
Pesan moral itulah yang menjadi harapan
leluhur (faunding fathers) dari nama desa Jatimalang. Oleh
karenanya walaupun pada awalnya terjadi tarik ulur namun setelah disepakati
bersama masyarakat menyatakan sudah tidak mempermasalahkan nama Jatimalang dan
menyatakan taslim. Bahkan mereka menilai nama desa Jatimalang sudah sangat
tepat, walaupun saat ini sudah tidak lagi ditemukan pohon jati disekitar lokasi
dimana pohon jati itu dulu tumbuh baik di Karangjati maupun di Alas Malang. (Wiyoto, 2023)
Generasi muda penerus sangat bangga
dengan kata Jatimalang karena bermakna heroik. Sehingga pada perkembanganya
banyak digunakan sebagai nama pada suatu
organisasi atau nama orang. Contoh misalkan nama Karang Taruna pemuda desa
Jatimalang bernama "Taruna
Jati". (Heru, 2023)
Pada versi lain pohon atau kayu jati
dianggap memiliki mistis atau keramat. Selain secara fakta kayu jati itu sangat
keras dibandingkan kayu kayu yang lain. Dengan kualitas kayu jati yang keras
dan tahan lapuk, seringkali masyarakat menyebut kayu jati sebagai sejatining
kayu. Dalam dimensi mitos religi jawa
kuno bahkan kayu jati dinamai kayu suci. Konon pohon jati yang ada
dinusantara awalnya berasal dari Gujarat
India yang dibawa ketanah Jawa. Karena kayu
jati disebut kayu suci disamping memang kualitasnya bisa bertahan
berabad-abad maka tidak salah kalau masyarakat banyak diburu dimanfaatkan dalam
pembangunan mesjid, rumah bandung dan benda media lain seperti warangka keris
dan gambang. Bahkan salah satu peninggalan Ki Sapu Angin yang berupa gambang dimungkinkan
terbuat dari kayu jati Panca Lodra. Benda itu
saat ini dirawat dan oleh salah satu keturunan leluhur Raden Malang
Taruna ke 6 dan keturunan Ki Sapu Angin.
Bila disebut kayu jati sebagi kayu
suci maka hal ini singkron dengan legenda
yang mengatakan bahwa pembangunan Masjid Agung Demak (Mesjid tertua
dijawa yang didirikan wali songo) tiang atau saka guru masjid berasal dari Kayu
Jati tua yang berasal dari desa Jatimalang (Kebumen). Hal ini dapat dibuktikan
adanya tulisan Jati dari Kebumen di saka guru tersebut yang tersimpan di musium
Mesjid Agung Demak karena telah dipugar. Tinggi saka guru adalah 17 M. Selain
di Demak yang konon dibawa oleh pasukan katak, beberapa desa tetangga juga
memanfaatkan kayu jati yang berasal dari desa Jatimalang itu untuk membuat
bedug, sebagaimana Mushola Al Huda, Dukuh Losari Desa Kedungsari dan saat ini
masih digunakan dengan baik. Dalam perkembangan sejarah masyarakat menyebut pohon
jati Jatimalang dengan sebutan "Pohon Jati Panca Lodra".
Legenda pohon jati dengan Mesjid
Agung Demak diperkuat dengan catatan cerita dari turunan putra leluhur Panembahan
Malang Taruna Romo Ki Jatmiko MP yang mendasarkan pada koleksi buku diary
pribadi bapaknya Ki Juru Yudho Prayitno. Dalam catatan itu diceritakan bahwa
adanya pohon jati gung yang besar, tua di Karangjati itu diketahui oleh Sunan
Kalijaga pada pengembaraan dakwahnya di Kabupaten Cilacap dan Kebumen. Disaat
berada dipetilasan kondisi sekarang
pemakaman Ayam Putih beliau mendapat kabar adanya pohon jati besar Karangjati
yang dikemudian hari dinamai panca lodra. Karena beliau sedang punya hajat
membangun Masjid Demak bersama Wali Songo maka pohon jati tersebut dimanfaatkan
utuk saka guru Mesjid demak dimana pada saat itu masih kurang satu saka guru
dan sementara dibuat pakai tumpukan tatal pohon kelapa. Melalui bantuan Nabi
Khidir AS dan Rijalul Ghoib maka dibawalah pohon Jati itu diluar pemahaman
logika orang umum. Hal ini sekaligus menepis cerita sebelumnya yang berkembang
dimana dibawa oleh pasukan katak.(MP, 2023)
Desa Jatimalang resmi dinamai desa
Jatimalang terhitung mulai adanya kebijakan dari Pemerintah Hindia Belanda
tentang "blengketan" Desa. Hal ini dilakukan Pemerintah Hindia
Belanda guna efektivitas dalam
administrasi dan penataan desa. Sebelum terjadinya blengketan pada umumnya desa
atau sebutan nama lain merupakan wilayah yang sangat kecil dan masing masing
berdiri sendiri. Seperti halnya di Jatimalang dimana pada saat pemblengketan
Jatimalang terpecah dalam 4 desa atau gerumbul. Padahal sebelumnya pada masa
awal babad alas grumbul grumbul desa-desa itu merupakan satu kesatuan yang
dipimpin oleh Demang secara turun temurun.(Eko Purwanto, 2023)
Kiranya jelas bahwa pilihan nama Jatimalang sebagai nama desa bukanlah sekedar
nama duplikasi dari daerah lain yang tidak memiliki makna sejarah bagi desa
Jatimalang itu sendiri. Kalaupun ditemukan adanya nama yang sama dengan desa
daerah lain itu hanyalah terjadi kebetulan saja.
C.
Babad Alas Jatimalang
Babad alas sebagai sebab awal adanya kehidupan manusia
disituasi daerah menjadi awal terjadinya dan terbentuknya desa dan kemudian
mengembang menjadi negara. Desa sebagai sistem pemerintahan terkecil pada
dasarnya merupakan suatu kolektifitas teritorial geografis, ekologi dan eko
sistem yang membentuk suatu peradaban. Oleh karena itu mengetahui jejak genetik
sosial maupun biologis masyarakat
terentu harus dimulai dari historis babad alas. Hasil ini menjadi peristiwa
sejarah yang penting. Selain itu babad alas merupakan bagian dari kegiatan
patriotisme sebab arti desa bermakna tumpah darah. Setiap desa biasanya
memiliki sejarah tersendiri dalam pembukaan lahan awal mula sebagai tempat
tinggal para leluhur yang tentunya masih sangat sederhana. Pelaku babad alas
menjadi pertanyaan sejarah yang umum dan pokok ketika merajut sejarah desa.
Pertanyaan ini wajib dijawab guna memberikan ikatan dengan leluhur dan
kesinambungan pada pembangunan desa. Tidak jarang nama pelaku babad alas
kemudian diabadikan dalam berbagai nama dalam pembangunan. Hal ini bertujuan
guna mengenang jasa jasa leluhur yang telah berjuang besar mengawali kehidupan
sehingga berkembang menjadi desa yang maju, damai dan berprestasi seperti
halnya Jatimalang saat ini.
Sebelum adanya
peristiwa babad alas Desa Jatimalang konon cerita merupakan alas yang banyak
ditumbuhi pohon jati. Pohon Jati tumbuh disepanjang Alas Malang dan Karangjati
secara subur. Karena banyaknya pohon jati yang tumbuh secara liar maka
menjadikan daun dan ranting, batangnya malang dan bercabang kemana mana tidak
beraturan. Seakan akan alas Jatimalang ini dipenuhi pohon jati. Dengan adanya
tiupan angina yang kencang menjadikan banyak pohon jati yang tumbang batang dan
rantingya menghalangi jalan. Selain masih berbentuk alas, tanah Jatimalang juga
merupakan semak belukar dan banyak terdapat hewan liar, buas serta dikenal
angker atau wingit (hunian setan). Hingga akhirnya tercipta seperti kehidupan
saat ini tentunya merupakan peristiwa evolusi sejarah yang panjang. (Parjono, 2023)
Permulaan babad alas di Jatimalang dilakukan secara
manual menggunakan perlengkapan sederhana oleh Ki Sapu Angin, kemudian pada
perjalanan babad alas datanglah Tumenggung R. Malang Taruna membantu dalam
membuka desa. Malang Taruna yang seorang tumenggung dengan kekuatanya dibantu
dengan prajurit bandung bondowoso bersatu padu melakukan babad alas. Sehingga
dari yang awalnya manual dengan kampak oleh Ki Sapu Angin dan masyarakat
menjadi lebih cepat karena dibantu perlengkapan senjata dari prajurit perang.
Semula tanah Jatimalang merupakan satu kesatuan dari
sepanjang Alas Malang masyarakat yang ada, Jatimalang belum mengenal gerumbul
atau pedukuhan seperti halnya Alas Malang, Kuwarasan, Jetis dan Dukuh. Mereka
masih menjadi satu kesatuan semak belukar. Menurut cerita turun temurun dari
para leluhur dimulainya babad alas tanah Jatimalang adalah pada masa kerajaan
Mataram Islam. Terdapat dua tokoh besar pelaku babad alas tanah Jatimalang yang
kemudian dijadikan leluhur desa:
1.
RMA
Tedjokusumo Alias R. Tedjowoelan, Alias Tumenggung Malang Joedo dan alias
Panembahan Malang Taruna. Dalam perkembanganya nama Malang Taruna lebih popular
dibandingkan nama aslinya. Hal ini dilakukan demi keamananya sebagai pejuang anti penjajah. RMA Tedjokusumo memiliki istri pertama yang bernama RA. Poespaningroem
dan istri selir Nyai Gandawati. Anak R.Malang Taruna Toemenggoeng Ranggadjati,
Toemenggoeng Among djojo dan Demang Sosrowiguno
(demang Jatimalang sebelum adanya lurah). Untuk kekeluargaan dengan Ki
Sapu Angin, Panembahan Malang Taruna memberikan pengikutnya Pawestri
bernama Nyi Salindri sampai meninggalnya
Ki Sapu Angin punya istri Nyi Dasilah.
Raja Sultan Agung pada tahun 1627 menugaskan Pangeran Tedjokusumo melakukan penyerangan
VOC (Vereenigde Ooos Indische
Compagnie) Belanda yang
menguasai Wirasaba Banyumas. Dalam perjalananya pulang ke Kasultanan Mataram
setelah melakukan penyerangan VOC Belanda dan menang singgah di Sumpyuh dan
terakhir singgah di Alas Malang-Jatimalang. Karena adanya situasi politik yang
berubah di kesultanan Yogya dan mengancam nyawa dirinya maka Pangeran Tedjokusumo memutuskan menetap tinggal ditanah di Alas Malang hingga
akhir hidupnya. Pada saat tinggal di Alas Malang RMA Tedjokusumo atau dengan nama lain Pangeran
Tedjokusumo alias Panembahan Malang
Taruna bertemu dengan Ki Sapu Angin (Ki Wongso Sudigdo) yang lebih awal tinggal
di Alas Malang. (Wiyoto, 2023)
Tokoh
kedua yang melakukan babad alas Jatimalang adalah:
2.
Ki
Wongso Sudigdo yang dikanal dengan nama Ki Sapu Angin. Tokoh ini dikenal
kesepuan, perdukunan serta kejawen. Selain itu Ki Sapu Angin dikenal masyarakat
memiliki ilmu kanuragan yang disebut Sepi Angin. Hoby dari Ki Sapu Angin adalah
bermain gambang. Konon ada cerita Ki Sapu Angin bisa diatas pelepah daun
pisang. Ki Wongso Soedigdo Alias Ki Sapu Angin, punya anak Ki Kertonojo, Ki
Tjaleksono, Ki Asmangali, Ki Kartaredja. Yang terakhir adalah lurah pertama
Jatimalang setelah adanya blengketan desa. Menjabat 22-6-1922 sampai dengan
10-12-1942.
Dari cerita masyarakat yang berkembang sosok sapu
angin adalah supra natural yang memiliki keahlian pengobatan penyakit maupun
gangguan mahluk halus. Sedangkan Pangeran Malang Taruna dikenal Pejuang
kesatria dari Kesultanan Yogya yang anti penjajah. Saat ini kedua artefak makam
kuburanya ada di kuburan alas malang.
Setelah kondisi tanah Jatimalang dapat ditempati untuk
kehidupan manusia berkat jasa kedua tokoh babad alas Ki Sapu Angin dan
Panembahan Malang Taruna maka seiring dengan waktu dan pertumbuhan jumlah
penduduk, kawasan Jatimalang terbagi dalam 4 gerumbul desa yakni Alas Malang,
Kuwarasan, Jetis dan Dukuh.
D. Asal Usul Desa Jatimalang
Pengertian desa secara etimologi
bahasa berasal dari istilah yang diambil dari bahasa Sansekerta yang berarti
tanah tumpah darah. Pada saat awal pembentukan desa oleh pemerintah Hindia
Belanda desa merupakan kumpulan dari beberapa pemukiman kecil area pedesaan
atau rural area baik berupa grumbul atau dukuh yang dipimpin oleh lurah.
Sebelum adanya lurah kepemimpinan ditingkat desa, gerumbul dipimpin oleh
demang, yakni kepala distrik: wedana pada zaman pemerintah Hindia Belanda.
Dalam kajian ilmu jiwa, manusia
mempunyai dorongan kodrat di antaranya dorongan sosial, dorongan segregasi
(memisahkan), dan dorongan integrasi. Dorongan social mendorong orang untuk
hidup bersama dengan manusia lain dalam satu golongan.Dorongan segregasi
mendorong manusia untuk membentuk golongan berdasarkan sifatatau keperluan yang
sama dan bersama. Golongan tersebut dapat didasarkan pada kesamaan pelajaran,
tempat tinggal, dan sebagainya. Dorongan integrasi adalah dorongan perorangan
atau golongan untuk tunduk, taat, dan berlindung kepada seseorang atau
golongan. Ketiga dorongan tersebut mengakibatkan terbentuknya lembaga sosial
permulaan, primitif/sederhana. Terbentuknya lembaga sosial disertai dengan
adanya seorang atau beberapa orang yang memimpin, yang lambat laun berkembang
menjadi lembaga pemerintahan.(Djanuri, 2008)
Asal usul terbentuknya Desa
Jatimalang pada dasarnya merupakan satu kesatuan teritorial wilayah meliputi
gerumbul Alas Malang, Kuwarasan, Jetis dan Dukuh. Dalam perkembanganya gerumbul
gerumbul tersebut kemudian diblengket dan terbagi dalam dua pedukuhan yakni
Alas Malang dan Karangjati. Dukuh itu sendiri pada dasarnya sama dengan sebutan
dusun atau lingkungan wilayah administrasi yang berkedudukan dibawah kelurahan
atau desa sebagaimana umunya ada di Indonesia. Pedukuhan Alas malang merupakan
penggabungan grumbul Alasmalang dan Grumbul Kuwarasan. Sedangkan pedukuhan
Karang Jati merupakan istilah baru setelah menyatunya Grumbul Jetis dan Dukuh. (Jatimalang, 2019)
Sebelum adanya penyatuan menjadi
pedukuhan dan penghapusan nama gerumbul desa oleh Pemerintah Hindia Belanda,
masyarakat masing masing gerumbul telah memiliki ekologi dan ekosistem
tersendiri. Hal ini dapat dilihat dari adanya makam (kuburan) dimasing masing
gerumbul. Artefak Alas Malang kuburanya di utara perbatasan Tambakagung,
kuwarasan makam kuburanya di Karangjati yang saat ini aktif digunakan. Dukuh makam
kuburanya di Plumbon Wanasari dan Jetis makam kuburanya di Balai Desa yang saat
ini ditempati. Selain itu juga masing
masing gerumbul desa telah memiliki kepemimpinan sendirii. Khusus grumbul desa
Jetis kepemimpinan atau lurah sampai
saat ini belum ditemukan. Sehingga saat memungkinkan gerumbul Jetis kelurahanya
mengkikuti grumbul dukuh. (Jatimalang, 2019)
Setelah dikeluarkanya aturan
blengketan atau penggabungan maka jabatan Demang telah berakhir. Sebelum
keluarnya secara resmi perintah tentang blengketan 1924, Jatimalang telah
mendahului membentuk kesatuan desa yang bernama Jatimalang pada tahun 1922.
Raden Kartasemita putra dari Demang Sosrowiguna dipilih sebagai lurah pertama
di Desa Jatimalang. periode ke periode. (Wiyoto, 2023)
E. Kepemimpinan Gerumbul Desa Jatimalang
Desa sebagai unit paling rendah tingkatanya dalam
struktur pemerintah telah ada sejak dulu dan bukan terbentuk oleh belanda.
Awalnya sejarah terbentuknya desa diawali dengan terbentuknya kelompok
masyarakat akibat sifat manusia sebagai mahluk sosial yang memiliki dorongan kodrat atau
kepentingan yang sama dari bahaya luar. Pada zaman dulu pengelolaan dan
penyelenggaraan desa menggunakan hukum adat. Setelah Belanda menjajah Indonesia
dan membentuk Undang-Undang pemerintah di Hindia Belanda (Regeling Reglemen)
maka desa diberi kedudukan hukum. Ada tiga unsur jika ingin menjadi desa yang
harus ada yakni Kepala desa, pamong desa dan rapat desa. (Pemerintah Desa Banjarsari, 2020)
Dengan demikian gerumbul gerumbul yang ada di desa
Jatimalang pada saat itu juga termasuk sebutan desa. demikian ketentuan dari
pemerintah Desa pada zaman itu dengan mengacu pada aturan Hindia
Belanda.Sekecil apapun tentang pengelolaan komunitas atau ekosistem maka layak
disebut desa. Demikian pula halnya yang terjadi pada pemerintahan di gerumbul
Jatimalang pada saat itu. Kepemimpinan pada zaman Hindia Belanda masih bersifat
hukum adat. Sehingga jabatan lurah masih berbeda-beda sesuai dengan adat yang
berlaku. Desa mulai resmi memiliki norma hukum secara resmi setelah
dikeluarkanya IGO dan IGOB dari Hindia Belanda.(Pemerintah Desa Banjarsari, 2020)
Sebelum adanya lurah lurah atau
sebutan lain sebagai pemimpin disatuan masyarakat gerumbul, Jatimalang dipimpin
oleh seorang Demang. Demang Sosrowiguna keturunan dari Panembahan Malang Taruna
bertugas membawaih seluruh gerumbul Jatimalang dari tahun 12-10-1778 sampai
dengan 9-11-1853. Berikut ini akan diraikan kepemimpinan desa Jatimalang semasa
Jatimalang terpecah menjadi empat gerumbul kelurahan. Demang Sosrowiguna
meningkal dan dimakamkan desa Ayam Putih, tempat petilasan dan dipendamnya iket
kepala Sunan Kalijaga
1.
Raden Mas Kartasemito 1887-1922 Lurah Alas Malang
Dengan dihapuskanya sistem kademangan, yang awalnya
menjadi pemimpin disatuan wilayah tertentu maka di digantilah dengan sebutan
lurah. Sebagai lurah pertama yang berada diwilayah gerumbul Alasmalang adalah
RM. Kartosemito yang merupakan putra dari Demang RM.Sosro Wiguno. Berdasarkan
catatan sejarah Kartasemito madeg atau diangkat jadi lurah Alas Malang 12
Agustus 1887. Beliau lahir Jumat pon 7 agustus 1856 dan wafat 11 Mei 1926.
Istrinya bernama Soedjinah, lahir senin manis 8-10-1870 sampai 1922, meninggal
31-12-1938. Kartasemito punya anak Ki Yudho Prayitno alias Ki Juru Sabdo (lahir
18-10-1899
dan meninggal 17-12 1978). Ki Yudho punya beristri Nyi Djoemiranti Endaningroem
(lahir 19-12-1920 dan meninggal 5-6-1982). (Romo Yudho, 1970)
RM. Kartasemita menjabat menjadi lurah di tunjuk oleh bapaknya Demang RM.Sosro
Wiguno.
Karena belum adanya kantor kelurahan khusus maka rumah
Kartasemita sekaligus sebagai tempat bertugas sebagai lurah. Jika digambarkan
saat ini bertempat didepan Mushola Al Hidayah Alas Malang. Tidak jauh dari
tempat tinggal RM.Kartasemita terdapat tempat petilasan pertapa Pangeran Malang
Taruna yang disebut Tabat. Sedangkan disebelahnya lagi adalah makam kuburan
penduduk Alas Malang. RM Kartasemita
wafat dan dimakamkan di pemakaman Alas Malang satu komplek dengan Pangeran
Malang Taruna, Ki Sapu Angin, RM. Sosro
Wiguna ayahnya. RM Kartasemita yang
merupakan keturunan ke-4 (empat) Pangeran Malang Taruna.
Gambaran wilayah kelurahan Alas Malang jika digambarkan saat ini meliputi RT 2,
4 dan 5 RW III Desa Jatimalang.(Jatimalang, 2019)
2.
Ki Pandi atau Jayanurya 1890-1922 Lurah Dukuh
Berdasarkan catatan sejarah Dukuh pernah dipimpin oleh
seorang lurah yang bernama Ki Pandi yang
berprofesi sebagai tukan nderes gula kelapa. Konon cerita Ki Pandi ditunjuk
oleh pemerintah Hindia Belanda untuk menjadu lurah digrumbul Dukuh. Setelah
menjadi lurah di Dukuh kemudian berubah nama menjadi Jayanurya. Artefak
makam Ki Pandi berada di Jerukagung
Jetak. Gerumbul dukuh jika digambarkan kondisi saat ini berada di Karangjati
bagian selatan tepatnya meliputi wilayah
RT 1, 2, 3, 4 RW I dan sebagian RT 1, 2 RW II. (Jatimalang, 2019)
Terkait dengan kelurahan Dukuh ini terdapat cerita
bahwa Ki Wongsigati II yang merupakan cucu dari Wongsogati I berasal dari
daerah Gringging Klaten mengikuti Pengeran Kajoran karena telah membantu
menyembuhkan warganya yang dilanda wabah penyakit. Untuk membalas budi, Ki Wongsogati
II membantu Pangeran Kajoran untuk mengejar Amangkurat I sampai ke wilayah
Panjer. Ki Wongsogati II yang merupakan seorang ulama yang konon menurut cerita
telah menyiarkan agama Islam di wilayah Dukuh. Salah satu artefak makam
keturunan Ki Wongsogai II yang bernama Ki Bandakerti berada di pemakaman Dukuh
(saat ini pemakaman umum Karangjati).
3.
R. Kasan Sastromiharjo bin "Umar bin Nur Salim (1890-1922)` Lurah
Kuwarasan
Pada grumbul Kuwarasan menurut cerita telah memiliki
lurah yang bernama Ki Kasan Sastromiharjo putra dari Haji ‘Umar bin Nur Salim
dan cucu Bandakerti keturunan Ki wongsogati II. Oleh warga masyarakat sekitar
dikenal dengan sebutan mbah Dongkol (Manten Lurah) hingga saat ini. Wilayah
Kuwarasan jika digambarkan saat ini meliputi RT 1 dan sebagian RT 3 RW
III. Pendopo kelurahan saat itu berada
di sebelah selatan Masjid Nurul Huda Alas Malang-Jatimalang. Sebutan nama
grumbul Kuwarasan menurut leluhur merupakan nama dari istri Haji ‘Umar atau ibu
Kandung R. Sastromiharjo. Pada saat itu istri H. ‘Umar dikenal dengan sebutan
mbah putri kuwarasan. Dalam legenda cerita mbah putri kuwarasan di kenal
memiliki kesaktian. Dari situlah kemudian menjadi nama grumbul desa. R Kasan
Sastromiharjo wafat pada tahun 1949, artefak makam terletak di pekuburan Dukuh
Karangjati saat ini, satu makam dengan H. ‘Umar dan Bandakerti. Nyi Kuwarasan
merupakan anak dari Bandakerti. Pemakaman Nyi Kuwarasan di pemakaman
Karangjati.(Hasyim, 2023)
Pada gerumbul Jetis yang merupakan
bagian dari Gerumbul gerumbul Jatimalang, sampai saat ini belum ditemukanya
data yang menunjukan di Jetis terdapat pemimpin atau lurah. Untuk itu dalam
pembahasan ini tidak diuraikan lebih lanjut. Wilayah jetis jika digambarkan
saat ini meliputi RT,3 sebagian RT 1 dan 2 RW II. Adapun makam jetis terletak
di komplek Balai desa Jatimalang. Pada wilayah Jetis inilah pohon Jati bersejarah
yang menjadi inspirasi nama Desa Jatimalang.
F. Kepemimpinan Desa
Setelah Masa Blengketan
Sampai Sekarang
Teka-teki kapan Desa Jatimalang melakukan blengketan
secara resmi dengan menggabungkan empat grumbul menjadi satu masih menjadi misterius.
Hal ini disebabkan belum ditemukanya data yang jelas dan valid.Hanya saja
diketahui berdasarkan catatan pribadi Ki Yudho Prayitno bahwa, Karterejo
sebagai keturunan dari Ki Sapu Angin mendapat limpahan tugas untuk melanjutkan
RM. Kartasemita. Hal ini sebagai wujud dari adanya kekeluargaan antara keluarga
besar Panembahan Malang Taruna dan Ki Sapu Angin. Kartaredja keturunan Ki Sapu
Angin, mulai tugas pada tanggal 22 Juni 1922 sampai 10 Desember 1942.(Romo Yudho, 1970)
Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan aturan
penggabungan grumbul, dukuh dan desa dengan kebijakan blengketan. Hal ini
dilakukan guna memudahkan pengawasan dan pengendalian desa khususnya di Jawa
dan Madura. Dengan adanya kebijakan blengketan tersebut maka dilakukanlah
blengketan disemua desa termasuk Jatimalang. Setelah blengketan yang semula
masing-masing memiliki kepemipinan lurah digrumbul desa maka kemudian disatukan
menjadi satu dengan nama desa Jatimalang. Terhitung adanya blengketan maka
Kelurahan Alas Malang, Kuwarasan, Jetis, dan Dukuh kembali menjadi satu seperti
halnya pada saman kademangan atau zaman awal babad alas. Desa Jatimalang membawaih
dua dukuh yakni Alas Malang dan Karangjati. Blengketan di Jatimalang dilakukan
pada tahun 1922.
1.
Ki
Kartareja (1922 – 1942)
Setelah dilaksanakan blengketan, Pemerintah Kolonial
Belanda menunjuk Ki Kartareja yang merupakan keturunan Ki Sapu Angin anak yang
keempat untuk menjadi Lurah Desa Jatimalang pertama dan membentuk
pemerintahannya. Kantor kelurahan saat itu berada di rumah Ki Kartareja.
Menjabat 22-6-1922 sampai dengan 10-12 -1942.(Jatimalang, 2019)
Artefak pemakaman Kartareja di pemakaman Dukuh Alas Malang.
Tahun 1942 setelah Belanda kalah perang dengan
Kekaisaran Jepang, Pemerintah Jepang mulai menjajah Indonesia dan sampai ke
Desa Jatimalang dengan memberhentikan Ki Kartareja dari jabatannya sebagai
Lurah. Setelah kemerdekaan, rumah beliau dijadikan Kantor Kecamatan Klirong
dari sekitar tahun 1945 sampai 1968.
2.
R.
Soetarmo (1942 – 1945)
Pada awal Pemerintahan Jepang diadakan pemilihan lurah
dengan calon berjumlah tiga orang diantarnya Djoyo Soeparto, Sanmukhidi, dan R.
Soetarmo dengan cara dodokan, dimana R. Soetarmo mendapat dodokan
terbanyak sehingga menjadi Lurah Desa Jatimalang yang ke-2 (dua). Kantor
kelurahan pada saat itu berada di selatan rumah Ki Kartareja.
Tahun 1945 setelah kekalahan Jepang dari Sekutu dan
Negara Republik Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, Pemerintah Indonesia
mulai membangun Pemerintahan dari pusat sampai wilayah Desa dan mengganti
pemimpin wilayah di masa Pemerintahan Kekaisaran Jepang. Lurah Desa Jatimalang
yang pada saat itu R. Soetarmo
diberhentikan.
3.
Djoyo
Soeparto (1945 – 1986)
Setelah kemerdekaan, Desa Jatimalang mengadakan
pemilihan kembali dengan calon berjumlah tiga orang yaitu Djoyo Soeparto,
Soejono Adi Wardoyo, dan R. Soetarmo yang kembali mencalonkan diri sebagai
Lurah. Saat itu proses pemilihan dilaksanakan dengan metode gitingan.
Pada pemilihan tersebut Djoyo Soeparto terpilih menjadi Lurah dengan perolehan giting
terbanyak. Beliau juga menjabat sebagai Glondong atau Lurah yang membawahi lima
desa yaitu Jatimalang, Kaliwungu, Sitirejo, Tambakagung, dan Karangglonggong.(Jatimalang, 2019)
Awal pemerintahan Djoyo Soeparto, kantor kelurahan
berada di rumah beliau. Pada tahun 1976, pemerintah desa mulai membangun kantor
kelurahan di lokasi yang sampai saat ini menjadi kantor balai desa Jatimalang.
Pada Tahun 1979 penamaan Lurah Desa berganti menjadi Kepala Desa. Djoyo
Soeparto menjadi Kepala Desa terlama sepanjang sejarah Desa Jatimalang dengan
masa jabatan 41 tahun terhitung sejak tahun 1945 sampai dengan tahun 1986.
4.
Wiyoto
Krido Sanyoto (1986 – 2002)
Setelah selesai jabatan Kepala Desa Djoyo Soeparto, pada tahun 1986 Desa
Jatimalang mengadakan pemilihan Kepala Desa kembali. Pemilihan dilaksanakan
dengan metode mencoblos simbol gambar hasil bumi. Dalam pemilihan tersebut,
Wiyoto Krido Sanyoto mendapat suara terbanyak. Wiyoto Krido Sanyoto merupakan
putra dari Ki Yudoprayitno,
cucu dari Ki Kartasemita, dan keturunan ke-6 dari Ki Malang Taruna. Beliau
menjadi Kepala Desa Jatimalang selama 2 periode dengan total masa jabatan 16
tahun dari tahun 1986 sampai dengan 1994 dan tahun 1994 sampai dengan 2002.(Jatimalang, 2019)
5.
Djalijo
(2002 – 2007)
Pada Tahun 2002 Desa Jatimalang mengadakan Pemilihan
Kepala Desa kembali dengan metode yang masih sama dengan sebelumnya, yaitu
mencoblos simbol gambar hasil bumi. Dalam pemilihan tersebut Djalijo mendapat suara terbanyak dan terpilih
sebagai Kepala Desa Jatimalang. Beliau menjadi Kepala Desa Jatimalang selama 1
periode dengan masa jabatan 5 tahun dari tahun 2002 sampai dengan 2007. Beliau
merupakan kepala desa yang bukan putra desa Jatimalang (pendatang).
6.
Parjono
(2007 – sekarang)
Pada tahun 2007, tepatnya setelah selesai masa jabatan Djalijo sebagai Kepala Desa Jatimalang,
diadakan kembali Pemilihan Kepala Desa Jatimalang dengan metode yang sama,
yaitu masih menggunakan simbol hasil bumi. Dalam pemilihan tersebut Parjono mendapat suara terbanyak dan terpilih
menjadi kepala desa sampai tahun 2013.
Pada tahun 2013,
Parjono mencalonkan kembali pada pemilihan Kepala Desa Jatimalang.
Pemilihan dilaksanakan dengan metode mencoblos foto calon kepala desa dan
terpilih kembali menjadi Kepala Desa Jatimalang sampai dengan tahun 2019. Di
tahun 2019, Parjono terpilih kembali
menjadi kepala desa dan menjabat sampai dengan sekarang. Beliau menjabat
sebagai Kepala Desa Jatimalang selama 3 periode.(Jatimalang, 2019)
Penetapan
Hari Jadi Desa Jatimalang berdasarkan kajian sejarah tersebut maka tim
merekomendasikan 12 Agustus 1887 yakni diambil dari dimulainya Raden Mas
Kartasemita menjabat sebagai lurah pertama setelah beralih dari demang.
Kesimpulan
1. Sejarah babad alas Jatimalang dimulai dari
Alas Malang ke Selatan sampai Karangjati dipandegani oleh dua tokoh leluhur
desa yakni diawali Ki Sapu Angin (Wongsosudigdo) dan dilanjutkan
Panembahan Malang Taruna dari Kesultanan Yogyakarta.
2. Madeg lurah pertama di empat grumbul
kelurahan; Alas Malang, Kuwarasan, Jetis dan Dukuh diwilayah Jatimalang dimulai
dari lurah RM Kartosemito pada tahun 12
Agustus 1887 yang menjadi lurah di Alas Malang. Selanjutnya adanya lurah di
grumbul Dukuh dan Kuwarasan. Sedangkan di grumbul Jetis sampai saat ini belum
ditemukan literatur dan bukti sejarah adanya lurah. Sebelum adanya lurah
dimasing masing grumbul kepemimpinan di ampu seorang Demang.
3. Kebijakan blengketan desa dari pemerintah
Hindia Belanda menjadi awal dimulainya pemerintahan baru dengan nama Desa
Jatimalang yang merupakan gabungan (blengketan) dari grumbul desa Alas Malang,
Kuwarasan, Jetis dan Dukuh.
4. Nama desa “Jatimalang” diambil dari
keadaan sebelum babad alas, dimana pada saat itu merupakan alas jati yang malang melintang disepanjang Dukuh
Karangjati sampai Dukuh Alas Malang penuh pohon jati. Hal ini didukung adanya
legenda desa yang mashur tentang pohon jati yang besar dan tua yang terletak di
tenggara Balai Desa saat ini yang konon dijadikan saka guru Masjid Demak yang
didirikan Walisongo.
5. Didesa Jatimalang pada tahun 1945-1966
pernah menjadi pusat perkantoran pertama Pemerintahan Kecamatan Klirong. Pada
saat itu terdapat Kantor Kecamatan, Koramil, Kantor Penerangan di area Rumah
Dalem Romo Yudoprayitno
(Penasehat Presiden Soekarno) tepatnya di bekas Kelurahan Kartareja. Sedangkan
Polsek dipintu jalan masuk desa Jatimalang tepatnya SD Sitirejo.
6.
Daftar
Pustaka
Agus Nero Sofyan, Kunto Sofianto, Maman Sutirman, dan D. S. (2019) ‘Perancangan Visual Branding
Desa Wisata Jambu Kabupaten Kediri’, Jurnal DKV Adiwarna, 1(14), p. 10.
Djanuri, A. (2008) ‘Modul Sejarah Terbentuknya Desa’, in.
IPEM, p. 2. Available at:
https://pustaka.ut.ac.id/lib/wp-content/uploads/pdfmk/IPEM420802-M1.pdf.
Eko Purwanto (2023) Interviu. Klirong.
Hasyim, F. (2023) Interviu. Kebumen.
Heru (2023) Interviu.
Jatimalang, P. D. (2019) Legenda dan Sejarah Desa, website.
doi:
https://jatimalang.kec-klirong.kebumenkab.go.id/index.php/web/artikel/8/32.
MP, R. J. (2023) Interviu.
Parjono (2023) Interviu. Kebumen. doi: visi misi.
Pemerintah Desa Banjarsari (2020) Sejarah Terbentuknya
Desa di Indonesia, Website Banjarsari. Available at:
https://www.banjarsari-labuhanhaji.desa.id/artikel/2020/11/10/sejarah-terbentuknya-desa-di-indonesia
(Accessed: 15 August 2023).
PUTRI AFFIZ (2022) ‘No Titleהכי קשה לראות את מה שבאמת לנגד העינים’,
הארץ, (8.5.2017), pp. 2003–2005.
Romo Yudho (1970) Dokumen Pribadi.
Rosita, S. et al. (2021) ‘Menggali Keunikan Desa
Mewujudkan Desa Wisata Di Desa Jernih Jaya Kabupaten Kerinci’, Jurnal Karya
Abdi Masyarakat, 4(3), pp. 426–435. doi: 10.22437/jkam.v4i3.11558.
Soetardjo, 1984 : 15, M. Irwan Tahir, 2012 : 38 (2012)
‘Jurnal Mipi - Perkembangan Desa Di Indonesia’, Jurnal Ilmu Pemerintahan,
pp. 1–17.
Wiyoto (2023) Interviu.
Agus Nero Sofyan, Kunto Sofianto, Maman Sutirman, dan D. S. (2019) ‘Perancangan Visual Branding
Desa Wisata Jambu Kabupaten Kediri’, Jurnal DKV Adiwarna, 1(14), p. 10.
Djanuri, A. (2008) ‘Modul Sejarah Terbentuknya Desa’, in.
IPEM, p. 2. Available at: https://pustaka.ut.ac.id/lib/wp-content/uploads/pdfmk/IPEM420802-M1.pdf.
Eko Purwanto (2023) Interviu. Klirong.
Hasyim, F. (2023) Interviu. Kebumen.
Heru (2023) Interviu.
Jatimalang, P. D. (2019) Legenda dan Sejarah Desa, website.
doi: https://jatimalang.kec-klirong.kebumenkab.go.id/index.php/web/artikel/8/32.
MP, R. J. (2023) Interviu.
Parjono (2023) Interviu. Kebumen. doi: visi misi.
Pemerintah Desa Banjarsari (2020) Sejarah Terbentuknya
Desa di Indonesia, Website Banjarsari. Available at:
https://www.banjarsari-labuhanhaji.desa.id/artikel/2020/11/10/sejarah-terbentuknya-desa-di-indonesia
(Accessed: 15 August 2023).
PUTRI AFFIZ (2022) ‘No Titleהכי קשה לראות את מה שבאמת לנגד העינים’,
הארץ, (8.5.2017), pp. 2003–2005.
Romo Yudho (1970) Dokumen Pribadi.
Rosita, S. et al. (2021) ‘Menggali Keunikan Desa
Mewujudkan Desa Wisata Di Desa Jernih Jaya Kabupaten Kerinci’, Jurnal Karya
Abdi Masyarakat, 4(3), pp. 426–435. doi: 10.22437/jkam.v4i3.11558.
Soetardjo, 1984 : 15, M. Irwan Tahir, 2012 : 38 (2012)
‘Jurnal Mipi - Perkembangan Desa Di Indonesia’, Jurnal Ilmu Pemerintahan,
pp. 1–17.
Wiyoto (2023) Interviu.
Selengkapnya di Desa Jatimalang Klirong >>>
0 komentar:
Post a Comment